Selasa (7/4/14), puluhan mahasiswa yang tergabung dalam aliansi mahasiswa UPI melakukan aksi massa menolak kebijakan cuti paksa yang diterapkan oleh kampus UPI. Aksi protes tersebut salah satunya dipicu oleh adanya 6 (enam) orang mahasiswa yang dicutikan secara paksa karena tidak sanggup membayar biaya kuliah. Oleh massa Aksi, kebijakan tersebut dinilai merugikan mahasiswa dan secara langsung mengancam sebagian besar mahasiswa UPI akan mengalami kasus serupa, sekaligus menyebabkan banyak calon mahasiswa yang terancam tidak bisa mengenyam bangku perkuliahan akibat biaya registrasi yang teramat mahal.
Menurut Muh. Fahmi Akbar (Koordinator Aksi) mahasiswa semester VI Fakultas Pendidikan bahasa dan Sastra Indonesia, mahalnya biaya kuliah tersebut diakibatkan oleh pengesahan UU no. 12 tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi (UU PT) yang didalamnya juga mengatur tentang otonomi Perguruan Tinggi Negeri dalam bidang akademik maupun non-akademik. Khususnya otonomi dalam non-akademik lebih dimaksudkan pada pengelolaan keuangan dengan skema Badan Layanan Umum (BLU). Lewat UU PT, pemerintah mulai mengurangi subsidi pendidikan yang dianggarkan dalam APBN dan APBD. Hal itu kemudian memberikan legitimasi bagi setiap perguruan tinggi dapat mencari biaya operasional pendidikan dari mahasiswa, orang tua mahasiswa, hibah, kolekte, dan kerjasama dengan swasta/asing.
Fahmi
menambahkan bahwa, dampak yang paling nyata dapat dilihat dari biaya
kuliah yang semakin mahal, gedung dan fasilitas UPI yang disewakan
kepada mahasiswa maupun masyarakat, kerjasama dengan pihak asing seperti
yang terjadi pada pembangunan gedung-gedung baru di UPI. Bahkan Isola
resort ataupun gedung Dormitory dibangun untuk mencari profit
(keuntungan), namun profit yang didapatkan tidak untuk membantu
mahasiswa yang tidak mampu.
Kami
mengkampanyekan kepada seluruh mahasiswa UPI bahwa cuti paksa juga
dapat menimpa siapa saja yang tidak mampu membayar biaya kuliah, hal ini
juga disebabkan oleh UKT (Uang Kuliah Tunggal). Pemerintah dan kampus
selalu mengkampanyekan bahwa dengan diterapkannya UKT maka biaya kuliah
yang ditanggung mahasiswa menjadi ringan karena penghitungan UKT adalah
akumulasi dari seluruh biaya kuliah yang diemban oleh mahasiswa selama
masa kuliah (sekitar 8 semester), tapi kenyataannya jauh panggang
daripada api, karena dengan diterapkannya sistem pengelolaan keuangan
dalam bentuk UKT mengakibatkan semakin mahalnya biaya kuliah yang
ditanggung oleh mahasiswa, imbuh Fahmi saat dihubungi melalui telepon
seluler.
Hal
yang sama juga disampaikan oleh Moh. Vichi Fadli (Ketua FMN Ranting UPI
Bandung), “dari awal diterbitkannnya Rancangan Undang-Undang Pendidikan
Tinggi yang pada tahun 2012 lalu telah disyahkan menjadi Undang-Undang,
kami (FMN) secara Nasional telah aktif mengkampanyekan bahwa UU PT
tidak akan menjawab persoalan pendidikan di Indonesia, khususnya
dijenjang Pendidikan Tinggi justru akan semakin menjauhkan akses rakyat
Indonesia atas Pendidikan Tinggi. Hal tersebut salah satunya, terbukti
dari data yang dirilis oleh Kompas bahwa hanya 20,4% masyarakat
Indonesia usia 19-24 tahun yang dapat mengakses pendidikan sampai pada
pendidikan Tinggi”.
Berdasarkan kenyataan atas tingginya angka pengangguran, putus sekolah dan kuliah “lanjut Vichi”,
menunjukan bahwa pemerintah telah mempersempit ruang bagi rakyat untuk
dapat mengakses pendidikan, khususnya kejenjang pendidikan tinggi, pungkasnya.
Pemerintah bahkan telah mengingkari amanat UUD 1945, seperti salah satu
cita-cita Negara Indonesia yang tertuang dalam pembukaannya bahwa
Negara bertanggungjawab untuk menyelenggarakan pendidikan mencerdaskan kehidupan bangsa, namun
kenyataannya melalui sistem penyelengaraan yang dijalankan oleh
pemerintah, justeru sangat jauh dari cita-cita pembangunan bangsa ini, Tegas Vichi.
Selain
itu (Lanjut Fahmi), pemerintah bahkan terus mempertajam dikotomi antara
mahasiswa miskin dan kaya melalui skema UKT dibawah payung UU PT. Hal
tersebut, jelas bertentangan dengan UUD, karena sejatinya pendidikan
adalah hak setiap warga negara dan tidak dapat dibeda-bedakan atas dasar
ras, suku, bangsa atau agama, apalagi atas dasar dikotomi ekonomi
(kaya-miskin).
Sebelum wawancara ditutup, Vichi menegaskanbahwa,
aksi ini kami lakukan untuk menolak cuti paksa yang disebabkan karena
kebijakan kampus yang anti terhadap mahasiswa. mahsiswa tersebut belum
mampu untuk membayar biaya kuliahnya, sekaligus kami juga menghimbau
kepada seluruh mahasiswa UPI untuk bersatu menolak kebijakan cuti paksa,
pemberlakukan UKT dan, kebijakan anti mahasiswa lainnya didalam kampus.